Ancam Ruang Hidup, Warga Wae Sano Ngotot Tetap Tolak Proyek Geothermal

- 27 Januari 2022, 18:58 WIB
Warga Lempe, Eduardus Watumedang (kanan).
Warga Lempe, Eduardus Watumedang (kanan). /Labuan Bajo Terkini/HO-Ario

LABUAN BAJO TERKINI - Masyarakat adat Wae Sano memang sudah menyatakan dukungan terhadap proyek geothermal di Desa Wae Sano, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Namun, dinamika terkait proyek panas bumi ini masih berlanjut, menyusul adanya penolakan Masyarakat Lingkar Danau Sano Nggoang yang terdiri dari warga tiga kampung adat di Desa Wae Sano (Dasak, Nunang dan Lempe) dan satu kampung adat di Desa Pulau Nuncung (Kampung Lenda).

Penolakan warga ini sebagaimana disampaikan warga Dasak, Yosefina Haul; warga Lempe, Eduardus Watumedang dan Maria; serta warga Nunang, Stef Abur, melalui keterangan tertulis yang diterima Labuan Bajo Terkini, Kamis 27 Januari 2022.

Baca Juga: Masyarakat Adat Wae Sano Dukung Proyek Geothermal, Tegaskan Tak Ada Konflik Horizontal

"Kami, ingin menyatakan sekali lagi ketegasan hati kami menolak rencana penambangan panas bumi dalam ruang hidup kami," kata Eduardus Watumedang, mewakili warga yang menolak.

Ia juga dengan tegas menolak siasat pemerintah dan perusahaan yang melakukan kegiatan konsultasi publik yang memakai pendekatan adat Lonto Leo (di beberapa tempat lainnya di Manggarai disebut Lonto Leok, red) di Kampung Lempe dan di Kantor Desa Wae Sano.

"Konsultasi publik, apalagi kalau memakai pendekatan adat Lonto Leo seharusnya mendengarkan warga, bukannya memaksakan kehendak kepada warga," tandas Eduardus Watumedang.

Baca Juga: 6 Terduga Pelaku Curanmor di Labuan Bajo Dibekuk Polisi, 5 Orang Asal Bima

Ia menambahkan, warga sesungguhnya sudah menyatakan penolakan terhadap pengeboran panas bumi di dalam ruang hidup masyarakat setempat dengan berbagai cara, baik melalui pers, unjuk rasa, hingga menulis surat penolakan kepada Bank Dunia dan kepada Presiden.

Karena itu, pihaknya berpandangan bahwa Lento Leo tersebut sebagai siasat dari pemerintah untuk terus memaksakan proyek geothermal Wae Sano. Bagi Eduardus Watumedang, Lonto Leo bukan lagi konsultasi publik, melainkan pemaksaan publik.

Warga yang menolak proyek geothermal ini pun kembali menyampaikan beberapa poin pernyataan mereka.

Baca Juga: Menyoal Togel Online; Pengecer Diciduk, Akses ke Situs Judi Sangat Mudah

Pertama, terkait jumlah serta identitas warga penolak. Menurut pemerintah melalui Sekda Kabupaten Manggarai Barat, warga yang menolak hanya segelintir orang.

Karena itu, pemerintah sangat menyesali sikap segelintir warga tersebut. Pada bagian yang lain, pemerintah juga mengklaim bahwa proyek geothermal Wae Sano telah disetujui oleh sebagian warga yang lain, di antaranya warga Kampung Ta’al. Bahkan diklaim bahwa mereka mendesak pemerintah untuk segera melanjutkan proyek tersebut.

"Kami tegaskan bahwa kami warga di tiga kampung adat (Nunang, Lempe dan Dasak) dan warga Kampung Lenda, menolak titik-titik pengeboran di dalam ruang hidup kami (pemukiman, mata air, dan dalam kebun pencaharian kami)," tandas Eduardus Watumedang.

Baca Juga: Kisah Getir Disabilitas di Manggarai Timur, Derita Stroke Hingga Kedua Kaki Melepuh Karena Air Panas

Merespon jumlah warga penolak serta dasar-dasar penolakan yang sangat kuat, ia menduga pemerintah terus melakukan upaya manipulasi dengan menggalang dukungan dari luar keempat kampung ini, termasuk Kampung Ta’al.

Atas dasar itu, pihaknya menegaskan bahwa dukungan warga di luar keempat kampung ini sangat berbeda dengan alasan penolakan mereka, sebab pembangunan ini tidak merusak ruang hidup mereka.

"Kepada pemerintah dan perusahaan, kami sekali lagi tegaskan, jika Anda benar-benar gentle maka hadapi sikap penolakan kami, warga empat kampung yang terdampak langsung proyek geothermal ini," tegasnya.

Kedua, terkait dengan klaim bahwa alasan penolakan warga yang tidak jelas dan tidak rasional. Menanggapi penolakan dari warga Lempe, pemerintah mengatakan bahwa alasan penolakan warga 'tidak jelas serta tidak rasional'.

Baca Juga: LPDP Danai 17 Riset Senilai Rp281 Miliar Termasuk untuk Mobil Listrik G20

"Kalimat-kalimat seperti ini, terus dikeluarkan oleh pemerintah dan perusahaan, sampai kami bosan mendengarkannya. Menurut kami dasar-dasar penolakan kami justeru sudah sangat jelas dan rasional yaitu bahwa keseluruhan proyek pembangunan ini sangat membahayakan keutuhan ruang hidup kami," tutur Eduardus Watumedang.

Ia mengklaim, justru cara pandang pemerintah yang tidak jelas dan tidak rasional. Sebab bagaimana mungkin pemerintah mendukung sebuah proyek yang jelas-jelas mencelakakan warganya sendiri.

Ketiga, soal geothermal adalah energi yang ramah lingkungan. Pemerintah mengatakan bahwa energi geothermal sebagai energi yang ramah lingkungan, karena itu perlu didukung.

"Bagi kami, pernyataan ini sangat asumtif dan tidak berbasis pada fakta serta dengan jelas menunjukkan kemalasan pemerintah untuk mendalami berbagai informasi tentang daya rusak energi geothermal," ucapnya.

Baca Juga: SETARA Institute: Restorative Justice Jangan Sampai Jadi Ajang Transaksional

Ia lalu mencontohkan proyek pengembangan geothermal di Kampung Mata Lako, Kabupaten Ngada. Selain telah gagal total, juga telah menimbulkan kerusakan yang sangat parah bagi lingkungan sekitar.

"Lokasi persawahan warga yang berjarak 2-3 KM tidak bisa digunakan lagi karena sumber airnya sudah kering. Bagaimana mungkin itu tetap dikatakan sebagai energi yang ramah lingkungan?" beber Eduardus Watumedang.

"Sebab itu, kami mengusulkan kepada pemerintah, secara khusus pemerintah Manggarai Barat untuk membuka diri terhadap pengetahuan dengan membaca banyak informasi, alih-alih percaya begitu saja pada propaganda para ahli yang mengklaim energi geothermal sebagai energi terbarukan," pungkasnya.***

Editor: Marianus Susanto Edison


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x