Anak Hasil Perkawinan Campuran Pilih Jadi WNA, Pemerintah Rancang Revisi PP

- 23 Maret 2022, 07:50 WIB
Tangkapan layar - Direktur Tata Negara Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham Dr Baroto, SH, MH.
Tangkapan layar - Direktur Tata Negara Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham Dr Baroto, SH, MH. /Labuan Bajo Terkini/Marianus Susanto Edison

LABUAN BAJO TERKINI - Masyarakat Perkawinan Campuran (PerCa) Indonesia mengungkapkan persoalan krusial yang dihadapi anak-anak hasil perkawinan campuran, terutama terkait status kewarganegaraan.

Sesuai amanat UU Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan, anak-anak hasil perkawinan campuran pada usia 18 harus memilih kewarganegaraan, menjadi warga negara Indonesia (WNI) atau warga negara asing (WNA).

Banyak anak hasil perkawinan campuran kesulitan melakukan pilihan ini saat memasuki usia 18 tahun, salah satunya karena masih menempuh pendidikan. Ada pula yang sama sekali tidak paham regulasi di Indonesia.

Guna membedah masalah yang sering disuarakan PerCa Indonesia ini, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Bali menggelar Sosialisasi UU Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan, Selasa 22 Maret 2022.

Baca Juga: PerCa Indonesia Beberkan Alasan Banyak Anak Hasil Perkawinan Campuran Memilih Jadi WNA

Dalam sosialisasi yang juga diikuti Labuan Bajo Terkini secara virtual ini, terungkap beberapa solusi yang sedang dipertimbangkan pemerintah dalam menjawab kegundahan anak-anak hasil perkawinan campuran ini.

Salah satunya adalah dengan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Memperoleh Kehilangan Pembatalan dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia.

"Pemerintah sedang merancang untuk merevisi PP Nomor 2 Tahun 2007," kata Direktur Tata Negara Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham Dr Baroto, SH, MH, yang tampil sebagai narasumber utama dalam sosialisasi ini.

Baca Juga: Kemenkumham Bali Bedah 'Benang Kusut' WNI yang Kehilangan Kewarganegaraan

Ia tak menampik, ada pula usulan yang mengemuka untuk mengurai masalah ini yakni merevisi UU Nomor 12 Tahun 2006. Apalagi undang-undang ini sudah berusia 15 tahun.

"Memang ada yang berjuang merevisi UU Nomor 12 Tahun 2006. Tetapi itu membutuhkan waktu yang sangat panjang. Apalagi belum menjadi prioritas di Prolegnas DPR RI," papar Baroto.

Sesungguhnya, lanjut dia, UU Nomor 12 Tahun 2006 sangat revolusioner karena negara benar-benar melindungi anak-anak hasil perkawinan campuran.

Baca Juga: BNPB: Ada Fenomena Pergerakan Tanah di Manggarai Barat, 200 Jiwa Terancam

"Undang-undang ini sangat maju. Sebab anak-anak hasil perkawinan campuran diberikan keistimewaan menyandang status kewarganegaraan ganda terbatas sampai usia 18," ujarnya.

"Saat usia 18 tahun atau sudah menikah, mereka bisa memilih. Bahkan diberikan waktu lagi maksimal tiga tahun, jadi sampai 21 tahun, untuk memilih salah satu kewarganegaraan," lanjut Baroto.

Meski sudah ada aturan demikian, namun faktanya masih saja banyak kesulitan yang dihadapi anak hasil perkawinan campuran di lapangan untuk memilih kewarganegaraan.

"Ini yang perlu dikaji secara mendalam. Termasuk di dalamnya pemerintah berupaya merevisi PP Nomor 2 Tahun 2007," tandas Baroto, dalam sosialisasi yang banyak dihadiri pengurus dan anggota PerCa Indonesia Perwakilan Bali ini.

Baca Juga: Ini Alasan Pemerintah Memilih Labuan Bajo Menjadi Tuan Rumah G20

Sementara narasumber lainnya dalam sosialisasi ini akademisi dari Universitas Udayana Edward Thomas Lamury Hadjon, SH, LLM, juga menilai bahwa UU Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan sesungguhnya sangat revolusioner.

"Undang-undang ini sangat melindungi hak-hak anak, bahkan anak-anak yang lahir dari hubungan tanpa ikatan yang sah. Jadi sangat revolusioner," kata Edward Thomas Lamury Hadjon.

Menurut dia, apabila ada hal-hal yang belum diatur sesuai dengan kondisi di lapangan dalam undang-undang ini, maka revisi adalah langkah yang bisa diambil.

"Tetapi kalau itu prosesnya terlalu panjang, bisa melakukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi," pungkasnya.***

Editor: Marianus Susanto Edison


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x