LABUAN BAJO TERKINI - Sesuai UU Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan, Indonesia mengenal asas kewarganegaraan tunggal.
Indonesia hanya memberikan keistimewaan bagi anak-anak hasil perkawinan campuran berstatus dwi kewarganegaraan terbatas. Terbatas, karena saat usia 18, anak-anak hasil perkawinan campuran diwajibkan memilih salah satu kewarganegaraan.
Regulasi ini ternyata banyak menuai persoalan, sebagaimana sering disuarakan Masyarakat Perkawinan Campuran (PerCa) Indonesia.
Anak-anak mereka terpaksa memilih menjadi warga negara asing (WNA), karena kebanyakan saat berusia 18 tahun mereka sedang menempuh pendidikan di luar negeri. Ada pula yang tidak paham dengan regulasi yang berlaku di Indonesia.
Baca Juga: PerCa Indonesia: Anak Perkawinan Campuran Aset Penting Menuju Indonesia Emas 2045
Terkait hal ini, dalam banyak kesempatan, PerCa Indonesia mendorong pemerintah merevisi UU Nomor 12 Tahun 2006, khususnya terkait batas usia anak-anak hasil perkawinan campuran memilih kewarganegaraan.
Ada pula yang mengharapkan agar pemerintah mulai mempertimbangkan untuk menerapkan asa dwi kewarganegaraan, sebagaimana negara - negara lainnya di dunia.
Mencermati hal ini, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Jimly Asshiddiqie, SH, MH, menyampaikan beberapa pandangan saat tampil sebagai keynote speaker pada Seminar Nasional 'Anak Perkawinan Campuran: Aset SDM Masa Depan Menuju Indonesia Emas 2045', di Hotel Royal Darmo Malioboro Yogyakarta, Sabtu 26 Maret 2022.
Baca Juga: PerCa Indonesia Beberkan Alasan Banyak Anak Hasil Perkawinan Campuran Memilih Jadi WNA
Menurut dia, mencermati realitas baru saat ini di mana banyak WNI yang menikah secara sah dengan WNA, maka perlu ada kajian dan diskusi mendalam terkait penerapan asas kewarganegaraan ganda.