Memburu Efek Ekor Jas

21 Februari 2023, 17:37 WIB
Jefrin Haryanto /Dok. Pribadi

Oleh: Jefrin Haryanto

Setiap partai ramai ramai memunculkan calon presidennya. Bahkan sekelas partai PSI yang tidak punya kursi di DPR RI pun pagi-pagi sudah mengusung Ganjar Pranowo. Atau partai baru yang bahkan belum pernah ikut pemilu  semacam partai Umat, sudah menggadang-gadang nama Anies Baswedan  untuk calon presiden.

Pemilu masih kurang lebih setahun. Riuh rendah bursa calon presiden dan calon wakil presiden makin ramai diperbincangkan. Sejumlah partai pun saling berebut "efek ekor jas" (coat-tail effect).

Efek ekor jas dapat dimaknai sebagai pengaruh figur dalam meningkatkan suara partai di pemilu. Figur tersebut bisa berasal dari capres ataupun cawapres yang diusung.

Baca Juga: Masuk Radar Calon Bupati Manggarai 2024 Perwakilan Tokoh Muda,Ini Respon Jefrin Haryanto

Tapi memang tidak terlalu mengejutkan kalau kita ingat bahwa tahun 2004 dan 2009 dengan figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sukses membuat Demokrat yang adalah partai  baru  langsung melesat naik.

Pemilu 2014 misalnya, bagaimana Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menikmati efek ekor jas dari figur Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, kini saat elektabilitas dan tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi terus meningkat, tingkat keterpilihan PDIP pun semakin meroket dalam sejumlah hasil survei terakhir.

Kisah sukses di atas kemudian menginspirasi partai-partai politik untuk berebut efek ekor jas menjelang Pemilu 2024. NasDem pagi-pagi sudah mendeklarasikan Anies sebagai calon presiden.

NasDem sadar betul dengan menjual nama Anies Baswedan NasDem akan mendapat insentif elektoral. Minimal perolehan suara mereka tidak menurun dibanding pemilu sebelumnya.

Tak hanya itu, kerja politik mengais efek ekor jas juga terlihat ketika partai-partai yang diajak NasDem yakni Demokrat dan PKS, ngotot juga mengajukan kadernya sebagai wakil presiden.

Baca Juga: Gubernur VBL Putuskan Untuk Tidak Maju Lagi, 8 Nama ini Layak Jadi Pengganti, Ada Jenderal Aktif

Di Indonesia, lantaran pileg dan pilpres digelar serentak, dampak dari efek ekor jas diperkirakan akan kuat. Dengan digelar secara berbarengan, maka masyarakat yang memilih capres secara linear akan memilih partai yang paling identik dengan pengusung capres tersebut. Pemilu serentak meniscayakan adanya hubungan kausalitas atau efek ekor jas.

Tentu dalam konteks Indonesia dengan sistem multipartai, tidak ada jaminan bahwa partai pendukung capres akan mendapatkan insentif elektoral atau menikmati efek ekor jas. Perpecahan suara (split vote) antara pemilih yang memilih capres/cawapres dengan memilih partai bisa saja terjadi.

Pengalaman membuktikan bahwa partai yang tidak benar-benar menjadi pengusung utama, biasanya akan makan angin. Sebagai contoh, saat Pemilu 2009 partai-partai politik berbondong-bondong mendukung SBY. Namun, anehnya hampir seluruh parpol yang mendukung SBY justru mengalami penurunan suara. PKS hilang satu juta suara, PKB turun 29 kursi, dan PPP turun 20 kursi. Ternyata, efek ekor jas hanya berdampak pada Partai Demokrat.

Indikasi sama juga terjadi pada Pemilu 2019. Partai-partai  yang mendukung pencapresan Jokowi, dalam sejumlah survei ternyata tidak mendapatkan insentif elektoral. Sebut saja Partai Golkar yang tren elektabilitasnya justru menurun, dan NasDem yang cenderung stangnan. Partai yang berhasil menikmati efek ekor jas hanyalah PDIP.

Jadi efek ekor jasnya terdistribusi dan tidak merata. Partai yang paling banyak mendapat keuntungan adalah partai yang paling mudah diasosiasikan publik dengan tokoh yang diusung.

Baca Juga: Kampanyekan Sosok Ganjar Pranowo, Srikandi Ganjar NTT Gelar Stand Up Comedy Bersama Anak Muda di Kota Kupang

Katakanlah NasDem, Demokrat dan PKS, berhasil mengusung Anies Baswedan, maka yang paling  banyak mendapat keuntungan adalah Partai Nasdem, karena dia yang paling mudah diasosikan publik sebagai Anies Baswedan. Dan jika Demokrat tidak jadi mendorong AHY sebagai wakil maka bisa dipastikan Nasdem akan mendapat keuntungan paling besar.

Artinya partai-partai anggota koalisi lainnya memperoleh dampak efek ekor jas tergantung pada kuat-lemahnya asosiasi mereka dengan sang capres/cawapres di mata publik pemilih.

Pola yang sama seharusnya dilakukan juga di daerah. Setiap partai jika ingin mendapat efek ekor jas di daerah, jauh-jauh hari sudah harus memproklamirkan calon-calon bupatinya. Dengan asumsi bahwa tokoh yang akan di deklarasikan adalah tokoh yang secara elektoral bisa meningkatkan daya jual partai. Kalau salah memilih tokoh juga, dampaknya akan konyol.

Sebagai peneliti, saya belum melihat adanya metode mengusung calon bupati sejak dini, dilakukan oleh partai partai di daerah. Partai-partai di daerah belum tahu mau jualan apa. Jualan program belum kelihatan. Menjual tokoh juga, belum punya data ketokohan yang akurat, minimal basisnya survey.

Baca Juga: Sering Kritik Anies Baswedan, PDI Perjuangan dan PSI Dapat Insentif Elektoral

Kongkritnya kalau Jakarta jualan calon presiden, kita yang di daerah yah jualan calon bupati. Tapi mengusung calon bupatipun harus terukur, baik potensi menangnya maupun potensi ketokohannya.

Saat ini banyak yang mendeklarasikan diri, tetapi basisnya adalah dorongan sendiri. Menokohkan diri, dan  membesarkan diri dengan speaker yang dibuat sendiri. Tanpa survey, tanpa kajian, mendadak nyalon... Hehehhe

Sederhananya  partai-partai yang mengusung kadernya sendiri sebagai capres atau cawapres, Bupati maupun Wakil Bupati pada Pemilu 2024 mendatang akan menikmati efek ekor jas, meskipun calon tersebut kalah dalam kompetisi Pilpres atau Pilkada.***

Penulis Merupakan Konsultan Psikologi Politik yang Saat Ini Menjabat Sebagai Kepala Dinas P2KB3A Manggarai Timur

Editor: Silvester Yunani

Tags

Terkini

Terpopuler