Jimly Asshiddiqie: Perlu Kajian Indonesia Terapkan Dwi Kewarganegaraan

- 26 Maret 2022, 16:28 WIB
Tangkapan layar - Mantan Ketua MK Prof Dr Jimly Asshiddiqie, SH, MH, saat tampil sebagai keynote speaker pada Seminar Nasional 'Anak Perkawinan Campuran: Aset SDM Masa Depan Menuju Indonesia Emas 2045', Sabtu 26 Maret 2022.
Tangkapan layar - Mantan Ketua MK Prof Dr Jimly Asshiddiqie, SH, MH, saat tampil sebagai keynote speaker pada Seminar Nasional 'Anak Perkawinan Campuran: Aset SDM Masa Depan Menuju Indonesia Emas 2045', Sabtu 26 Maret 2022. /Labuan Bajo Terkini/Marianus Susanto Edison

LABUAN BAJO TERKINI - Sesuai UU Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan, Indonesia mengenal asas kewarganegaraan tunggal.

Indonesia hanya memberikan keistimewaan bagi anak-anak hasil perkawinan campuran berstatus dwi kewarganegaraan terbatas. Terbatas, karena saat usia 18, anak-anak hasil perkawinan campuran diwajibkan memilih salah satu kewarganegaraan.

Regulasi ini ternyata banyak menuai persoalan, sebagaimana sering disuarakan Masyarakat Perkawinan Campuran (PerCa) Indonesia.

Anak-anak mereka terpaksa memilih menjadi warga negara asing (WNA), karena kebanyakan saat berusia 18 tahun mereka sedang menempuh pendidikan di luar negeri. Ada pula yang tidak paham dengan regulasi yang berlaku di Indonesia.

Baca Juga: PerCa Indonesia: Anak Perkawinan Campuran Aset Penting Menuju Indonesia Emas 2045

Terkait hal ini, dalam banyak kesempatan, PerCa Indonesia mendorong pemerintah merevisi UU Nomor 12 Tahun 2006, khususnya terkait batas usia anak-anak hasil perkawinan campuran memilih kewarganegaraan.

Ada pula yang mengharapkan agar pemerintah mulai mempertimbangkan untuk menerapkan asa dwi kewarganegaraan, sebagaimana negara - negara lainnya di dunia.

Mencermati hal ini, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Dr Jimly Asshiddiqie, SH, MH, menyampaikan beberapa pandangan saat tampil sebagai keynote speaker pada Seminar Nasional 'Anak Perkawinan Campuran: Aset SDM Masa Depan Menuju Indonesia Emas 2045', di Hotel Royal Darmo Malioboro Yogyakarta, Sabtu 26 Maret 2022.

Baca Juga: PerCa Indonesia Beberkan Alasan Banyak Anak Hasil Perkawinan Campuran Memilih Jadi WNA

Menurut dia, mencermati realitas baru saat ini di mana banyak WNI yang menikah secara sah dengan WNA, maka perlu ada kajian dan diskusi mendalam terkait penerapan asas kewarganegaraan ganda.

"Tidak perlu buru-buru menilai negatif tentang dwi kewarganegaraan ini. Tentu semua ada plus minusnya," kata Jimly Asshiddiqie, yang hadir secara daring dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan PerCa Indonesia ini.

"Apalagi kita menghadapi kenyataan bahwa perkawinan campuran ini menjadi realitas baru," imbuhnya.

Baca Juga: Kemenkumham Bali Bedah 'Benang Kusut' WNI yang Kehilangan Kewarganegaraan

Anggota DPD RI ini menyebut, tingginya mobilitas di era keterbukaan ini memungkinkan akan semakin meningkatnya angka perkawinan campuran di Indonesia.

Bersamaan dengan itu, maka tidak sedikit jumlah anak-anak bangsa hasil perkawinan campuran yang tersebar di berbagai negara di dunia.

"Berbicara tentang visi Indonesia Emas 2045, apa tidak mungkin kita memaksimalkan potensi anak-anak perkawinan campuran yang kita yakini memiliki SDM unggul ini," ujar Jimly Asshiddiqie.

Baca Juga: Pengadaan Barang dan Jasa Berkontribusi Tingkatkan Transaksi Pembelian Produk Lokal

Menurut dia, salah satu masalah besar yang membuat Indonesia sulit menjadi negara besar adalah karena cenderung fokus di dalam negeri saja. Indonesia tidak seperti SDM di negara lain, yang lebih banyak 'ke luar kandang'.

"Sekarang kita memiliki banyak anak-anak hasil perkawinan campuran di berbagai negara. Apakah tidak mungkin potensi ini dimanfaatkan? Apalagi mereka memiliki penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai," ucapnya.

Mencermati realitas ini, Jimly Asshiddiqie mendorong agar penting untuk dilakukan kajian mendalam terkait plus minus Indonesia menerapkan asas dwi kewarganegaraan.

Baca Juga: Menparekraf Optimistis 30 Juta UMKM 'On Boarding' 2023

"Harus dikaji plus minusnya. Sebab tentu tidak semuanya buruk. Tetapi tidak semuanya juga menguntungkan Indonesia," ujarnya.

"Bisa saja misalnya dwi kewarganegaraan itu diterapkan secara terbatas yang didasarkan pada perjanjian antara negara. Jadi perlu ada kajian menyeluruh," imbuh Jimly Asshiddiqie.

Terlepas dari hal itu, ia sepakat mendorong pemerintah untuk memaksimalkan keberadaan anak-anak hasil perkawinan campuran, dalam upaya mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

"Saya rasa untuk menuju Indonesia Emas 2045, anak-anak hasil perkawinan campuran ini merupakan aset yang perlu dikelola dengan baik," pungkas Jimly Asshiddiqie.***

Editor: Marianus Susanto Edison


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x