Menteri PPPA Akui Angka Perkawinan Dini di Indonesia Masih Tinggi

- 12 Maret 2022, 09:40 WIB
Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati.
Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati. /Instagram/@bintang.puspayoga

LABUAN BAJO TERKINI - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menyebut masih tingginya angka perkawinan dini di Indonesia hingga saat ini.

Data menunjukkan bahwa pada tahun 2018, 1 dari 9 perempuan berumur 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun atau sekitar 11 persen.

Sementara hanya 1 dari 100 laki-laki berumur 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun atau sekitar 1 persen.

Adapun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), meski secara nasional angka perkawinan dini turun dari 11,21 persen pada 2018 menjadi 10,82 persen pada 2019 dan 10,35 persen pada 2020, namun terjadi kenaikan di 9 provinsi.

Baca Juga: PerCa Indonesia Beberkan Alasan Banyak Anak Hasil Perkawinan Campuran Memilih Jadi WNA

Selain itu, data pada 2020 menunjukkan adanya 22 provinsi dengan angka perkawinan anak yang lebih tinggi dari angka nasional.

Masih tingginya angka perkawinan dini ini, menurut Menteri PPPA, perlu ditekan dengan pelibatan anak-anak, remaja dan kaum muda.

"Untuk menciptakan sistem perlindungan anak yang holistik guna menghapuskan perkawinan anak (usia dini), dibutuhkan adanya pelibatan dari anak anak, remaja dan kaum muda itu sendiri," kata Bintang Puspayoga, dalam siaran pers di Jakarta, Jumat 11 Maret 2022.

Baca Juga: BNPB: Perempuan Berisiko Meninggal 14 Kali Lebih Besar Saat Bencana

Menurut Menteri bernama lengkap I Gusti Ayu Bintang Darmawati ini, perkawinan dini merupakan praktik yang dapat mengancam masa depan anak dan mencoreng seluruh hak anak.

Selain itu, perkawinan anak usia dini juga merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak dan melanggar HAM.

Bintang Puspayoga menambahkan, perkawinan dini menimbulkan dampak buruk bagi anak. Seperti memiliki kerentanan dalam mengakses pendidikan dan layanan kesehatan, berisiko mengalami tindak kekerasan dan hidup dalam kemiskinan.

"Praktik perkawinan anak patut menjadi perhatian dan prioritas kita semua karena telah menimbulkan dampak yang sangat masif," tandasnya.

Baca Juga: Pemindahan IKN untuk Memastikan Visi Indonesia Emas 2045 Tercapai

"Anak yang menikah memiliki kerentanan yang lebih besar dalam mengakses pendidikan dan layanan kesehatan, berisiko besar mengalami tindak kekerasan dan berpotensi memunculkan dampak buruk lainnya, termasuk pada persoalan kemiskinan lintas generasi," imbuh Bintang Puspayoga.

Ia juga mengingatkan potensi meningkatnya angka perkawinan anak pasca-pandemi Covid-19, dengan merujuk studi literatur UNFPA dan UNICEF yang menemukan risiko anak perempuan dinikahkan semakin tinggi dalam situasi setelah terjadinya bencana.

"Berdasarkan studi UNFPA pada 2020, terdapat potensi terjadinya sekitar 13 juta perkawinan anak di dunia pada rentang waktu 2020-2030 akibat pandemi ini," pungkas Bintang Puspayoga.***

Editor: Marianus Susanto Edison

Sumber: Antara


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x