Terkait geothermal Wae Sano, menurut dia, diperkirakan luas Wae Sano kurang lebih 300 hektar. Adapun penggunaan ruang untuk seluruh kegiatan proyek termasuk pembangunan jalan hingga titik bor, tidak lebih dari 18 hektar.
"Jadi kalau dibilang mengganggu ruang hidup, saya pastikan itu keliru. Itu misinformasi," tegas Yando Zakaria.
Baca Juga: Ini 15 Kegiatan Eksplorasi Geothermal Wae Sano, Paling Akhir Pengeboran
Terkait isu lainnya, dimana geotermal disamakan dengan tambang, ia juga menepisnya. Begitu pula isu panas bumi sama dengan gas bumi, merupakan pandangan yang keliru.
Akibat misinformasi ini, demikian Yando Zakaria, akhirnya diplintir seolah-olah geothermal Wae Sano nantinya bisa berisiko seperti bencana banjir lumpur panas Sidoarjo, atau yang lebih dikenal oleh publik dengan nama Lumpur Lapindo, di Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
"Jadi perlu kami luruskan, panas bumi beda dengan tambang umumnya. Panas bumi juga bukan gas bumi. Ini dua hal yang berbeda," ucapnya, sekaligus meluruskan isu bahwa geothermal akan menyemburkan gas beracun.
Baca Juga: Gaduh Geothermal Wae Sano, Marten Mitar: Kalau Bukan Ahli, Jangan Bicara Seolah-olah Ahli
Isu lain yang berkembang adalah kegiatan eksplorasi dan eksploitasi geothermal Wae Sano dikaitkan dengan kebisingan dan polusi berupa debu.
"Soal kebisingan, sejauh yang saya tahu, suara bising itu tidak lebih dari suara seperti hujan deras. Dan itu tidak berlangsung 24 jam sehari. Toh pasti ada mitigasi. Juga dibangun penghalang," jelas Yando Zakaria.
Menurut dia, sejauh ini sudah ada lebih dari 30 kegiatan eksplorasi dan eksploitasi panas bumi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sangat minim sekali kecelakaan apalagi kerugian sebagaimana banyak diisukan.