Terkait suara masyarakat yang menyesalkan terkatung-katungnya proyek ini, Yando Zakaria menjelaskan, sesungguhnya tidak ada niat pemerintah maupun perusahaan menunda proyek ini.
Semula, menurut dia, terjadi dinamika atau perbedaan pendapat. Hal itu dibuktikan dengan adanya Surat Keuskupan Ruteng ke Bank Dunia, yang intinya menolak proyek geothermal Wae Sano.
Sebagai dampaknya, Bank Dunia saat itu menghentikan rencana eksplorasi geothermal Wae Sano. Namun sejak tahun 2019, Bank Dunia kembali memberikan 'lampu hijau' untuk proyek ini, dengan syarat yang ketat. Salah satu catatan Bank Dunia adalah wajib melibatkan masyarakat adat.
Baca Juga: Mendagri: Pemerintahan Bersih, PAD Pasti Meningkat
Atas dasar itu, selama 1,5 tahun belakangan, proses dimulai dari bawah terutama untuk mengetahui substansi pendapat masing-masing pihak, baik yang mendukung maupun menolak.
Dukungan itu pun ternyata cukup kuat, terutama dari masyarakat adat Wae Sano. Demikian halnya Keuskupan Ruteng yang sebelumnya menolak, akhirnya mendukung proyek geothermal Wae Sano.
"Tidak hanya yang menolak, tapi yang mendukung juga dilihat dan didalami selama 1,5 tahun terakhir ini," beber Yando Zakaria.
"Dokumen IPP ini adalah salah satu kunci, apakah proyek ini jalan terus atau setop. Dokumen ini bukan final, tapi dokumen hidup. Dokumen ini harus ada, karena Bank Dunia sangat menghormati masyarakat adat," imbuhnya.
Baca Juga: Kapal Motor Tenggelam di Manggarai Barat, Dua Orang Meninggal Dunia
Hasil Lonto Leo ini, selanjutnya akan disampaikan kepada Bank Dunia. Nantinya Bank Dunia yang akan memutuskan nasib masa depan proyek ini.