Kopi Kita, Penentu Harga Bukan Pemilik Uang Tapi Pemilik Barang

17 Januari 2022, 12:40 WIB
Ronald Igu dengan Penulis saat bertemu di Ruteng beberaa waktu lalu /Itok Aman

LABUAN BAJO TERKINI- Di Manggarai Timur ada seorang pemuda milenial kreatif bernama Ronald Igu. Salah satu petani kopi milenial yang fokus bergiat dalam pengolahan kopi. Perjumpaan awal kami bercerita panjang lebar membahas tentang bagaimana visi dan misi petani milenial kopi Colol mengangkat citra petani kopi di pasaran lokal dan nasional.

Dalam diri Ronald, ia ingin mengembalikan nilai kopi ke tangan petani kopi Manggarai. Bagi Ronald, hal yang paling tidak logis ialah ketika harga kopi ditentukan pembeli bukan penjual.

Konsep ini memang tidak masuk akal, karena hal yang mendasar adalah setiap orang butuh uang. Akan tetapi, di tangan Ronald dan kawan-kawannya, harga kopi bisa jauh lebih tinggi dari harga yang sering kita lihat selama ini. Bagaimana caranya? Ronald punya cara tersendiri menyiasati itu.

Jika selama ini, harga kopi Rp. 27.000 per kg. Maka di tangan Ronald dan kawan-kawannya di Colol, kopi dengan takaran 1 kg bisa dijual dengan harga yang kisaran minimal Rp. 150.000. Tentu proses pengolahan yang mereka lakukan berbeda dengan yang biasa kita lihat di tangan petani kopi lainnya di Manggarai.

Baca Juga: Kementerian Pertanian Genjot Hilirisasi Singkong dengan Nilai Jual Tinggi

Salah satu yang paling unik dari kreativitas Ronald yaitu menyulap biji kopi menjadi gelang, kalung, rosario, dan tasbih. Bayangkan saja jika;

1. Satu gelang yang terbuat dari biji kopi dijual dengan harga Rp. 10.000, dalam satu gelang hanya membutuhkan 25 sampai 35 biji kopi.

2. Satu gantungan masker yang terbuat dari biji kopi dijual dengan harga Rp. 35.000, dalam satu gantungan masker hanya butuh tidak lebih dari 100 biji kopi.

3. Satu rosario yang terbuat dari biji kopi dijual dengan harga Rp. 40.000, dalam satu rosario hanya membutuhkan tidak lebih dari 100 biji kopi.

4. Satu tasbih yang terbuat dari biji kopi dijual dengan harga Rp. 50.000, dalam sat7 tasbih pun begitu.

Awalnya, Ronald mengakui banyak yang menertawakan (meremehkan) kerja gila dari Ronald dan kawan-kawannya. Bagaimana bisa biji kopi dijadikan gelang, kalung, dan rosario? Apakah ketika kita ingin minum kopi, tapi kopinya tidak ada maka kita copot satu-dua biji dari gelang lalu dikunyah layaknya permen kopiko? Ehmm...!!!

Baca Juga: Ini 5 Agenda Besar Kemenkop dan UKM, Termasuk Cetak 500 Ribu Wirausaha Muda Tiap Tahun

Apakah gelang kopi ini laku terjual? Why not, Buddy! Apakah kopinya cepat rusak? Kalau memang Anda pakai aksesoris dari biji kopi itu untuk baku hantam, memang cepat rusak, tapi kalau dipakai dan dijaga pasti ada seni-seninya juga, biji kopi yang diolah dengan sedemikian rupa itu akan bertahan lama di tangan Anda.

Makin lama aksesoris kopi melengkapi perhiasan di tangan dan leher Anda, makin tercium aroma tajam kopinya. Kecuali kalau kau pakai itu gelang kopi tapi tidak mandi berhari-hari, jangankan aroma kopi, aroma parfum pun akan kalah dengan kau punya bau badan. Ups!

Berapa banyak biji kopi dalam takaran 1 kg? Berapa banyak gelang, kalung/gantungan masker, rosario, tasbih yang mereka hasilkan dari 1 kg kopi? Tentu banyak. Lihat, satu tasbih saja yang terjual bisa menutupi harga 2 kg kopi di pasaran yang biasa kita temukan selama ini. Bagaimana bisa kopi menjadi lebih mahal di tangan Ronald dan kawan-kawan? Ronald menjelaskan bahwa bukan hanya kopi-nya saja yang mereka jual tetapi proses dan nilai karya kreatif merekalah yang menambah harganya. Andai saja semua petani kopi mengolah kopinya dengan profesional, kopi dengan spesial taste, maka tengkulak akan kesulitan menentukan berapa harga kopi sekilo. Tapi petani pemilik kopi-lah yang berhak menentukan harga.

Bagaimana bisa penjual pakaian yang menentukan berapa harga pakaian jualannya sedangkan penjual dan/atau pemilik kopi, harga kopinya ditentukan oleh pembeli. Konsep inilah yang sedang berusaha dikembalikan oleh Ronald dkk. Harga kopi sepatutnya ditentukan petani yang notabene sebagai pemilik kopi, bukan pengusaha yang pemilik uang tapi butuh kopi. Selayaknya penjual pakaian yang menentukan harga satu celana kepada pembeli yang membutuhkan celana dipakainya.

Dalam beberapa tahun terakhir, Ronald dan kawan-kawannya bergiat di dunia usaha kopi. Selain memperjuangkan citra petani kopi, Ronald juga berjuang untuk mempertahankan kualitas cita rasa kopi Colol yang sudah mendunia itu. Para pemuda ini juga sedang dalam perjuangan melawan konsep ijon yang diterapkan para tengkulak di pasaran komoditi Manggarai bahkan Indonesia.

Tidak hanya membuat gelang, kalung, gantungan masker, rosario, dan tasbih. Ronald masih punya banyak cara mengolah kopi menjadi lebih variatif. Dengan cara membuat coffee wine, coffee parfume, dan masih banyak yang lainnya.

Sampai hari ini, hasil karya kreatif Ronald dan kawan-kawannya dari Colol sudah menyebar di seluruh Indonesia, dan bahkan sampai ke luar negeri.***

Kontributor: Itok Aman

Editor: Silvester Yunani

Tags

Terkini

Terpopuler